Berkah Al Quran Bersama Ustadz H. Abdul Somad

Kehadiran para pendakwah seperti UAS ini memang menyejukkan. Merekalah para penyeimbang bagi kita yang sudah terlalu lama berjibaku

Berkah Al Quran Bersama Ustadz H. Abdul Somad
NULL

Ketika melihat unggahan sebuah poster acara akhir pekan berupa Tabligh Akbar yang menghadirkan Ustadz H. Abdul Somad dan Ustadz Yusuf Mansur, saya langsung membatalkan sejumlah agenda. Toh, agenda yang saya batalkan hanyalah kegiatan standar khas bapak-bapak pekerja kantoran yang semula hendak menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan.

Kegiatan semacam itu bisa dilakukan kapan saja, tapi kesempatan menghadiri majelis ilmu dan belajar langsung dari para pemuka agama yang memang berilmu tinggi, padat jadwalnya, dan kebetulan berlangsung di kota yang sama, sungguh terlalu sayang untuk dilewatkan. Acara Tabligh Akbar ini bertajuk “Keberkahan Belajar Al Qur’an” yang berlangsung di Masjid Nabawi. Tapi tenang saja, bukan di Masjid Nabawi yang berada di kota Madinah, Arab Saudi, tetapi masjid ini berada di kompleks Pesantren Tahfizh Daarul Quran yang berada di Cipondoh, Tangerang.

Sebagai warga yang mendiami sebuah wilayah di Jabodetabek, melangkahkan kaki ke sana tentu tidak terlalu sulit. Bersyukurlah wilayah ini sudah sebagian besar terkoneksi dengan sarana transportasi umum. Dengan menaiki KRL Commuter Line, saya hanya membutuhkan biaya 10 ribu rupiah untuk membeli tiket pulang-pergi.

Memang, perjalanan Commuter Line ini agak berbeda dengan yang biasa saya jalankan sehari-hari. Jika biasanya saya sudah turun di stasiun Manggarai atau Sudirman menuju gedung bertingkat perkantoran tempat bekerja, kali ini saya menghabiskan sedikit lebih lama lagi berdiam di kereta hingga stasiun transit Duri.

Sebuah pemandangan kontras tersaji dalam jarak tempuh sepuluh menit saja, dari perkantoran mewah sekitar stasiun Sudirman ke pemukiman padat penduduk di sekitar stasiun Duri. Dari stasiun Duri, saya kemudian melanjutkan ke kereta yang mengakhiri perjalanan di stasiun Tangerang. Kawan saya memberitahu untuk turun di stasiun Poris, tiga pemberhentian sebelum Tangerang.

Di perjalanan dari stasiun Duri ke Poris, saya kembali disuguhi pemandangan yang lebih membumi sekaligus kontras. Terdapat hamparan sawah yang ditanami berbagai tanaman pangan yang dihimpit oleh pabrik-pabrik berskala produksi menengah. Saya pun sedikit delusional karena dalam beberapa saat merasa sedang menaiki kereta menuju Jawa Tengah, hingga kemudian interkom kereta menyadarkan saya bahwa saya telah tiba di stasiun Poris. Satu setengah jam perjalanan saya habiskan di dalam kereta saja, setara dengan waktu normal sebuah pertandingan sepak bola.

Mohon maaf jika saya mengawali tulisan ini dengan agak melantur, karena memang inilah pengalaman pertama saya berkunjung ke pondok pesantren yang pendiriannya dirintis oleh Ustadz Yusuf Mansur ini, juga pengalaman pertama menyaksikan tausyiah dari Ustadz Abdul Somad secara langsung. Perjalanan ini kemudian agak-agak saya maknai dengan sedikit spiritual. Rupanya saya sudah terlalu lama berjibaku di dunia kerja dan terlalu jauh dari agama, tapi ini adalah hal lain.

Acara dijadwalkan berlangsung pukul tujuh hingga sembilan pagi. Ustadz H. Abdul Somad menaiki panggung tepat pukul delapan, dan kemudian mengisi acara utama berupa tausyiah. Sebelumnya, KH Yusuf Mansur membuka acara dengan kata sambutan singkatnya.

Ustadz yang juga dikenal dengan sebutan UAS ini memang pada prinsipnya menjalankan peran yang sama seperti layaknya para guru agama yang bertugas untuk berdakwah. Dakwah dan syiar Islam yang berawal dari Rasulullah Muhammad SAW yang mengajarkan ilmunya kepada para sahabat, lalu dilanjutkan oleh para tabi’in, lalu tabi’in dari tabi’in dan seterusnya, yang tersebar dari jazirah Arab, Afrika Utara, Eropa Selatan, Asia Tengah hingga kemudian sampai kepada kita di wilayah Nusantara.

Hanya saja, UAS memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan para da’i lain. Tanpa bermaksud membandingkan, UAS yang pernah belajar Islam di Mesir dan Maroko ini memiliki modal yang amat penting untuk membuat para pendengarnya betah, yaitu kemampuan story telling yang ciamik. UAS juga amat mahir dalam menggunakan berbagai analogi sehingga materi ceramah yang sebetulnya berat menjadi lebih mudah dipahami.

Pengetahuannya jelas mumpuni. Sejarah modern, teknologi terkini, hingga kultur pop pun tidak lepas dari materi pengajarannya. Ia memang perlu mengetahui hal-hal tersebut agar dakwahnya dapat menyentuh berbagai kalangan. Apalagi, UAS juga amat lihai mengeluarkan candaan-candaan segar namun tidak keluar dari konteks sehingga acara ceramah tidak berlangsung kaku. Terkadang, dari hal-hal kecil seperti inilah pintu-pintu hidayah banyak dibukakan.

Kehadiran para pendakwah seperti UAS ini memang menyejukkan. Merekalah para penyeimbang bagi kita yang sudah terlalu lama berjibaku untuk memenuhi urusan dunia. Seperti halnya banyak pendakwah lain di era digital, kemunculan Ustadz H. Abdul Somad ini juga mulai diperhatikan ketika banyak yang mengunggah kegiatan ceramahnya melalui kanal-kanal pembagi video. Dari media-media inilah kita kemudian mengenal sosoknya, juga logat Melayu yang menjadi ciri khasnya.

Ustadz H. Abdul Somad pun dibuat kagum dengan keberadaan lembaga tahfizh quran seperti Daarul Quran. Menurutnya, keberadaan institusi Daarul Quran di tengah masyarakat ini amat penting guna mencetak bibit-bibit penghapal kitab suci umat Islam ini di tengah segala macam tantangan dan fitnah yang mengiringi generasi sekarang.

Mempelajari quran dengan detail, seksama, dibaca dengan benar, dan dihapalkan dengan metode yang tepat, kelak tidak hanya akan mencetak generasi Rabbani, tetapi juga generasi yang tertanam quran sejak di dalam dasar alam pikirannya. Hal lain boleh terlupa dan terganti, namun pembelajaran quran yang didapat dari sebuah program pendidikan yang ekstensif tidak akan pernah hilang. Jangan ditanya manfaatnya, karena pahala yang dihasilkan akan terus mengalir layaknya air yang membasahi kerongkongan di tentah panasnya gurun pasir.

Berbicara kehidupan berbangsa, keberadaan penghapal quran adalah aset berharga bagi sebuah bangsa. Tidak lain, mereka akan membawa segala berkah akan tercurah dan menghadirkan kemakmuran. Dengan prinsip mengejar akhirat, maka bukan hanya kehidupan surga akhirat yang didapat, tetapi juga dunia yang akan bersimpuh di bawah kaki. Hal yang bertolak belakang dengan yang berlaku di masyarakan sekarang, yaitu masyarakat yang terlalu mementingkan dunia dan melupakan akhirat.