Senyum Lebar Sambal Terong

“Mas, boleh pulang? Kita makan sambel terong bersama,” Allahu akbar. Bahagia lepas setelah luka dan murung menahannya belasan tahun

Senyum Lebar Sambal Terong
NULL

Enam jam perjalanan, sepanjang Yogyakarta-Purwokerto penuh harap tentang seorang pendakwah Qur’an di satu sudut Purwokerto. Kabarnya, 16 tahun pendakwah ini lumpuh layu karena bis antar kota melindas punggungnya saat perjalanan pulang dari pesantren. Di jalan masuk kecil di sisi pabrik semen swasta di Kecamatan Ajibarang, lokasi yang belasan tahun lalu merubah nasib Sugiharto, pendakwah Qur’an itu. Kiranya 75 persen tubuhnya lumpuh, dari bawah dada hingga ujung kaki tidak lagi bisa digerakkan juga tidak bisa merasakan nyeri.

Sekilas, Sugiharto telah dibawa berkeliling Purwokerto, Kebumen, hingga Solo dalam keadaan lumpuh untuk pengobatan. Platina besar di punggungnya telah terpasang, Sugiharto pun pulang namun tak terawati dengan apik. Hingga pada 2017, di bekas sayatan operasi punggungnya, luka mulai menganga, kulit dan dagingnya terbuka dan kedua kakinya membusuk karena sudah banyak upaya keluarga dan sedikit sekali cara untuk bergerak. Entah sudah berapa lama luka-luka di tubuh Sugiharto muncul.

Pertengahan Agustus 2017, sampailah kabar Sugiharto dari surat kabar lokal di meja perbicangan PPPA Daarul Qur’an. 23 Agustus 2017, bersama tim Medis Klinik Daarul Qur’an Magelang visitasi dilakukan. Perjalanan panjang selama enam jam memang dipenuhi harap. Persimpangan lokasi berubahnya nasib Sugiharto dilewati, agaknya 10 menit kemudian sampailah di rumah Sugiharto. Bu Tisem menyambut kami, ada airmata dan harap dari belasan tahun ketidakmungkinan pemulihan putranya yang telah ditinggal cerai paska musibah malam hari 16 tahun lampau.

Di kamar 3x3 meter, Sugiharto terus mengajarkan bagaimana alif ba ta dibaca dengan fasih pada 20-30 anak sembari antri di ruang tengah dan halaman depan rumah sederhananya setiap sore. Rupanya, inilah kekuatan di tengah luka lumpuhnya. Ada Alqur’an di kesehariannya. Ajakan berobat ke Yogyakarta ditolaknya, keputusasaan dari berbagai ikhtiar pengobatan menjadi alasan.

Beberapa pekan setelahnya, awal November 2017, setelah “sogokan” satu set kitab Fathul Bahri dan 40 mushaf Al Qur’an, juga rayuan tentang cahaya Qur’an di kampung, Sugiharto berobat ke Yogyakarta. Platina telah dilepas. Luka-luka membusuk telah diobati. Dua pekan di Rumah Sakit Nur Hidayah, Bantul, Sugiharto akrab dengan dr. Sagiran, ahli bedah di Yogyakarta, pemilik rumah sakit juga keluarga besar PPPA Daarul Qur’an.

9 November 2017, Sugiharto pulih. Senyumnya lebar, gigi-gigi besarnya nampak, bisikan lirihnya adalah, “Mas, boleh pulang? Kita makan sambel terong bersama,” Allahu akbar. Bahagia lepas setelah luka dan murung menahannya belasan tahun. Bu Tisem haru memeluk dan menyalami Tim PPPA Daarul Qur’an yang ketika itu Tim Republika ikut juga menjenguk Sugiharto.

Akhir November 2017, bersama beberapa mahasiswa Unsoed yang ikut mendukung pemulihan Sugiharto, kami berkunjung tanpa kabar pada keluarga Sugiharto. Keadaan kini telah jauh berbeda, tidak hanya 20-30 anak kecil mengaji, belasan remaja kampung ikut mengaji dan mulai menghafal Alqur’an di rumah Sugiharto. Tim PPPA Daarul Qur’an berpamitan setelah Isya’ dan melantunkan Surat Al Waqiah bersama. Di atas bed standar rumah sakit dan kasur decubitus, Sugiharto melepas pamit pulang Tim PPPA Daarul Qur’an.

Sampai Ramadhan 2018, Sugiharto terus menyambung kabar dengan PPPA Daarul Qur’an, pun pemulihan tetap dikondisikan bersama beberapa tim medis di Purwokerto. Hingga pertengahan Agustus 2018, pada Ahad malam (12/8), Bu Tisem mengabari bahwa Sugiharto telah wafat, setelah Isya’. Doa mengalir deras dari Tim PPPA Daarul Qur’an untuk seorang pendakwah yang tak kenal berhenti dan beralasan dalam mengajarkan kebaikan-kebaikan.

Selamat jalan Sugiharto, dalam semangat Alqur’an beliau tutup usia, semoga menjadi jalan surga. Sugiharto yang semasa hidupnya menjadi cahaya bagi orang-orang di sekitarnya, Insyaallah Alqur’an yang akan menerangimu hingga akhirat kelak, juga menjadi sebaik-baiknya penolong. Di antara foto-fotomu berjuang dalam luka, kami mengucap banyak takzim untuk hikmah bil amal yang menjadi sebab untuk mendawamkan Alqur’an lebih baik.

Ingatan tentang lantunan Surat Al-Waqiah selalu menyengat ingatan tentang Sugiharto dan hari akhir. Juga tentang memoar sambal terong yang terucap lewat senyum lebar Sugiharto, akan menjadi semangat dan wasilah perjumpaan bersama semua pendakwah Qur’an di surga-Nya kelak. Aamiin.