Selamat Lantaran Donat

Kalau saya bilang “selamat karena donat’’, mungkin ada yang komentar: Koq, selamat karena donat sih? Dikirain saya nggak percaya sama Allah...

Selamat Lantaran Donat
NULL

Kalau saya bilang “selamat karena donat’’, mungkin ada yang komentar: Koq, selamat karena donat sih? Dikirain saya nggak percaya sama Allah Yang Maha Penyelamat.

Bukan begitu maksud ane. Maksud saya, Allah SWT sudah nyelametin saya dengan media (wasilah) donat. Paham, kan.

Ceritanya begini. Awalan merantau di Ibukota sebagai kaum urban, saya sambil kuliah nyambi kerja apa saja untuk bisa bertahan hidup. Tentulah, sesuai pesan Ibu, kerja apa saja asal halal. Adagium mengatakan: co-kepepet ergo sum. Saya eksis karena kepepet.

Maka, selain mahasiswa, saya juga berpredikat sebagai guru TPA (Taman Pendidikan Alquran). Alhamdulillah, di tahun 1996 itu, saya mengajar ngaji anak-anak dengan honor Rp 15 ribu sebulan. Kalau memakai “kurs’’ sekarang ya sekitar Rp 60 ribu lah/bulan.

Terus, predikat saya juga sebagai juru bayar. Bayarin tagihan listrik, telepon, dan air tetangga ke PLN, Telkom, dan PDAM. Bayarin, maksudnya bukan nraktir, tapi membantu membayarkan pakai uang mereka masing-masing. Lumayan, dari sini saya bisa mendapat uang jasa sekitar Rp 50 ribu sebulan.

Syahdan, suatu hari rasanya saya pengeeeen banget pulkam (pulang kampung). Kangen sama bapak dan ibu di kampung yang terletak di Blora.

You know Blora, adalah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Di sana ada daerah Cepu. Tapi di tingkat nasional dan bahkan internasional, Cepu lebih terkenal ketimbang Blora. Pasalnya, bumi Cepu penghasil minyak yang luar biasa, yang disebut Blok Cepu.

Tapi kalau soal kuliner, serahkan pada Blora. Kota ini terkenal dengan sate ayamnya. Citarasanya, wuuuih… muantreeeeb deh pokoknya. Belum pulang kampung namanya, kalau di Blora saya tak sempat makan makanan yang satu ini.

Yang juga ngangenin buanget adalah pecel plus tempe. Juga serabi edisi khusus pagi hari. Terus ada tahu lontong. Pokoknya, nyampleng tenan dan harganya sangat bersahabat dengan kantong rakyat.

Menuju ke kampungku, bisa naik pesawat dari Bandara Soetta Jakarta ke Bandara Adi Sumarmo Solo, kemudian disambung perjalanan darat menggunakan bus AC.

Tapi, karena waktu itu saya orang tak beruang, maka saya pilih paket hemat untuk pulkam.

Naiklah saya bus ekonomi jurusan Blora. Karena ini bus non-AC, para penumpang harus transit di Purwodadi saja. Perjalanan selanjutnya sampai tujuan, silakan naik bus omprengan yang banyak ngetem di sana.

Apel Washington atau Pizza Hut, tentu oleh-oleh yang “istimewa’’ buat orangtua di kampung. Di Blora, waktu itu, kan belum ada. Sayang, harganya tak terjangkau kantong saya. Walhasil, saya terus berpikir, buah tangan apa yang harganya terjangkau, tapi di kampung belum ada.

Saya teringat kisah Imam Ali Zainal Abidin. Ulama ini sangat berbakti kepada ibunya, hingga beliau tidak pernah berani makan bersama ibunya itu. Ketika ditanya alasannya, Sang Imam menjawab, “Aku khawatir tanganku mendahului mengambil makanan yang terhidang, sementara mata ibuku lebih dulu memandangi makanan itu (kepingin). Jika hal itu terjadi, aku merasa telah durhaka kepadanya.”

Coba itu!

Akhirnya saya beli Dunkin Donuts. Selusin, harganya sebenarnya tak kelewat mahal. Namun saya hanya sanggup membeli setengah lusin alias 6 biji donat saja.

Lumayanlah, tentengannya cukup bergengsi. Dan di Blora nggak ada. Insya Allah bisa nyenengin orangtua.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 12 jam dari Jakarta, sampailah bus yang saya tumpangi di Purwodadi. Di gapura gerbang kota, saya bergegas minta turun untuk selanjutnya naik bus omprengan jurusan Blora. Nggak sabar rasanya pengen segera sampai rumah, sungkem sama Bapak-Ibu.

Begitu masuk dan duduk di dalam bus omprengan, saya merasa ada yang tak beres. Apa ya? Masya Allah! Donat ketinggalan! Saya langsung turun lagi mengejar bus antar-kota antar-propinsi tadi.

Woeee, kerneeet, tunggu….!’’ Teriak saya sekencangnya. Olala, si bus sudah keburu ngacir ke terminal Purwodadi.

Yaah, lemes deh. Sejenak saya berfikir, mau dikejar nggak ya bus itu. Kalau dikejar naik ojek, maka saya harus ngeluarin ongkos ojek yang lebih gede ketimbang harga donat. Kan sayang, mengingat kantong hampir melompong.

Lagipula kalau harus mengejar bus ke terminal dan balik lagi ke pangkalan omprengan, akan makan waktu lama. Bakal ketinggalan omprengan yang sudah hampir berangkat ini. Lama lagi kalau menunggu giliran di belakangnya.

“Ya Allah,’’ batin saya dalam kebimbangan. “Kalau oleh-oleh 6 potong donat yang harganya tak seberapa itu bisa membahagiakan orangtua, kenapa tidak.’’

Maka, akhirnya saya memutuskan turun lagi dari bus. Dengan membonceng tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ, saya mengejar bus dari Jakarta tadi ke terminal.

Di terminal, itu dia, bus tersebut sudah terparkir dalam keadaan melompong di pool-nya. Saya lalu minta ijin pada kondekturnya yang sedang bersih-bersih untuk mengambil barang saya yang ketinggalan.

Alhamdulillah, bungkusan donat itu masih tergeletak rapi di bawah jok tempat saya duduk tadi, lengkap dengan plastik kreseknya. Saya comot dan saya bawa dengan penuh gembira. Terbayang wajah orangtua. bakal tersenyum bahagia mendapat oleh-oleh dari anaknya yang sudah lama nggak pulang-pulang.

Saya lalu naik bus jurusan Blora dari dalam terminal Purwodadi. Apa boleh buat, ngetem-nya lama sekali, menunggu penumpang agak penuh. Tapi nggak apa-apalah, yang penting donat selamat di tangan.

Setelah beberapa lama akhirnya bus berangkat juga. Jalannya agak lambat, karena masih menyisir penumpang di keluar terminal.

Kecamatan demi kecamatan, desa demi desa. Hati saya semakin riang, ketika sebentar lagi sampai wilayah Blora.

Namun di pertengahan antara Purwodadi dan Blora, tepatnya di Wirosari, bus dicegat massa. Segerombolan orang lantas berebut naik bus dengan panik. Maka bus yang saya tumpangi jadi penuh sesak seketika.

Anehnya, saya perhatikan hampir semua penumpang yang barusan naik ini, memegangi jidat dan kepala. Rupanya, bagian kepala mereka ada yang memar, bahkan berdarah. Mereka juga tampak kuyu.

Para penumpang baru itu ternyata korban kecelakaan bus. Ketika saya menoleh ke kanan jalan, tampak sebuah bus nyungsep terperosok dan terguling masuk ke parit. Kaca depannya pecah berantakan. “Ada penumpang yang sampai terlempar ke depan memecahkan kaca bus,’’ ujar salah satu penumpang baru yang duduk di samping saya.

Ia bercerita, bus yang mereka tumpangi bermaksud menghindari tabrakan. Sopir banting stir ke kanan sehingga bus oleng dan akhirnya masuk ke parit. Bus itu rusak berat dan nggak bisa jalan lagi. Para penumpang yang panik dan terluka, dioper ke bus yang saya tumpangi.

Ketika saya perhatikan lebih seksama, masya Allah, ternyata mobil yang nyungsep itu adalah bus pertama yang tadinya mau saya tumpangi untuk ke Blora. “Allahu Akbar, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Kau selamatkan hamba,’’ spontan saya nyebut dalam hati.

Coba kalau tadi saya tidak mengejar donat yang ketinggalan di bus malam dan naik bus berikutnya. Niscaya, saya bakal jadi salah satu korban kecelakaan bus tersebut.

Saya semakin yakin, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah diskenariokan Allah SWT, termasuk bagaimana saya bisa selamat dari sebuah musibah.

Begitulah, setengah lusin donat, yang diniatkan untuk birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtua) ternyata dijadikan Allah SWT sebagai wasilah untuk nyelametin saya.

Terima kasih ya Allah, Engkau Maha Baik.


*Diambil dari kisah nyata Ustadz Anwar sani pada buku "Donat Kehidupan"